Sunday 11 September 2011

PHK FORCE MAJEURE BAGI PERUSAHAAN SEKITAR MERAPI

Julian Cholse

BAB 1
PENDAHULUAN

I.                   LATAR BELAKANG
            Bencana alam merupakan faktor yang tidak bisa diprediksi oleh manusia dan menimbulkan dampak yang merugikan. Bencana tersebut menyebabkan banyak korban. Dalam keadaan yang real, bencana alam tersebut sering membuat keadaan force majeure.
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Contohnya seperti bencana alam, revolusi, kebakaran, peperangan, dan kerusuhan.
Pada Oktober 2010 lalu,  di Yogyakarta, Gunung Merapi meletus. Erupsi tersebut melumpuhkan kegiatan perekonomian di Yogyakarta sementara waktu. Namun erupsi tersebut juga membawa dampak yang kurang disadari, yaitu pemecatan atau pemutusan hubungan kerja secara massal karyawan-karyawan yang perusahaannya terkena dampak letusan Merapi. Perusahaan tersebut umumnya tidak bisa beroperasi secara normal bahkan sebagian besar harus berhenti beroperasi secara permanen, sehingga perusahaan tidak mampu  mempekerjakan karyawan sesuai kapasitas standar yang biasanya dimiliki perusahaan.

Pada kesempatan kali ini, kami ingin meneliti force majeure yang disebabkan oleh bencana Merapi tersebut. Kami menyadari bahwa banyak kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi tersebut, maka kami akan meneliti seberapa besar dampak bencana merapi tersebut terhadap PHK force majeure.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana suatu kejadian bisa diidentifikasi sebagai force majeure?
2.      Apakah letusan merapi berdampak terhadap PHK? Jika iya, seberapa besar dampaknya?
3.      Apa tanggungjawab perusahaan setelah melakukan PHK force majeure?

III.             TUJUAN
1.      Untuk mengetahui bagaimana suatu kejadian bisa diidentifikasi sebagai force majeure.
2.      Untuk mengetahui dampak letusan merapi terhadap PHK, dan seberapa besar dampaknya.
3.      Untuk mengetahui tanggungjawab perusahaan setelah melakukan PHK force majeure.




IV.             MANFAAT
Diharapkan karya tulis ini dapat memberi pengetahuan bagi pembaca bagaimana suatu kejadian dapat digolongkan menjadi force majeure, memberi pemahaman tentang dampak erupsi merapi terhadap PHK force majeure, serta memberi informasi tentang tanggung jawab yang seharusnya dilakukan perusahaan setelah melakukan PHK force majeure.

V.                TINJAUAN PUSTAKA
DPR (Pada tahun 2003), membuat undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Undang-undang tersebut adalah undang-undang no. 13 tahun 2003. Undang-undang ini memuat alasan mengapa seorang tenaga kerja atau karyawan mengalami pemutusan kerja. Pemutusan kerja ini mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.



BAB 2
KERANGKA TEORI

Force Majeure
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Lihat pasal 1244 KUH Perdata.
“Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah dinegosiasi diantara para pihak.”
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat. Sesungguhnya pasal 1244 dan juga pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya.





Lebih lengkapnya, pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut :
Pasal 1244
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada iktikad buruk padanya.
Pasal 1245
Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi scara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Dari rumusan-rumusan dalam pasal KUH Perdata seperti tersebut diatas dapat dilihat kausa-kausa force majeure menurut KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
1. Force majeure karena sebab-sebab yang tak terduga.
2. Force majeure karena keadaan memaksa.
3. Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang.




Bentuk- bentuk force majeure tersebut adalah:
1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga
Dalam hal ini, menurut pasal 1244, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beriktikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya.
2. Force majeure karena keadaan memaksa
Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa. Lihat pasal 1245 KUH Perdata.
3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang
Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundang-undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (paasl 1245 KUH Perdata).


PHK
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan pekerja. Karenanya, selama ini singkatan ini memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak mereka.
Terdapat bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Selain itu:
·       ­ Selesainya PKWT
·       ­ Pekerja melakukan kesalahan berat
·       ­Pekerja melanggar perjanjian kerjaperjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan
·       ­ Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
·       ­ Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya
·       ­ Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
·       PHK Massal - karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.
·       ­ Peleburanpenggabunganperubahan status
·       ­Perusahaan pailit
·       ­ Pekerja meninggal dunia
·       ­ Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
·       ­ Pekerja sakit berkepanjangan
·       ­ Pekerja memasuki usia pensiun
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
·       masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
·       masa kerja 1 - 2 tahun,  2 (dua) bulan upah;
·       masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
·       masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
·       masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
·       masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
·       masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
·       masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
·       masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
·       masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
·       masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
·       masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
·       masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
·       masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
·       masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
·       masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
·       masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.



UU Ketenagakerjaan Bab XII Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

BAB 3
PERENCANAAN REALISASI PROGRAM

I.                   METODE PENELITIAN
1.                  Wawancara
Kami akan mewawancarai pihak Disnakertrans Jogja untuk mendapat data mengenai perusahaan yang terkena dampak letusan Merapi. Setelah mendapat rujukan perusahaan yang terkena dampak, kami akan mewawancarai pemiliknya guna mendapat alas an PHK massal dan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan yang di PHK.
2.                  Tinjauan pustaka
Kami mendapat informasi mengenai aturan ketenagakerjaan dengan menelaah Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.



II.                SCHEDULE PENELITIAN
·         30 Mei 2011
Mengadakan wawancara di Disnakertrans Jogja untuk mendapat data perusahaan di sekitar Merapi, terutama yang mengadakan PHK massal akibat erupsi Merapi.
Disnakertrans Provinsi DIY Yogyakarta beralamat di Jl. Lingkar Utara, Maguwoharjo, Depok, Sleman Telp. (0274) 885147, 885036, Fax. (0274) 885036 Yogyakarta.

·         1-3 Juni 2011
Mengadakan wawancara ke manajemen perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapat data yang lebih rinci, terutama dampak letusan merapi terhadap PHK di perusahaan tersebut dan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya yang terkena PHK.

Kelengkapan isi makalah dapat di download di sini

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Julian Cholse